Entri Populer

Jumat, 26 November 2010

Naskah Bahan Ajar

Naskah Bahan Ajar Cerpen Berbasis ICT

RPP Bahasa Indonesia Kls XII IPA/ IPS

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Pertemuan 14


Nama Sekolah                     : SMAN 18 GARUT
Mata Pelajaran                     : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester                    : XII / 1
Alokasi Waktu                      : 2 x 45 menit


A. Standar Kompetensi
     Membaca
     Memahami  wacana sastra puisi dan cerpen

B. Kompetensi Dasar

  C. Indikator
  • Menceritakan kembali isi cerpen
  • Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen

D. Tujuan Pembelajaran
  • Siswa dapat menceritakan kembali isi cerpen.
  • Siswa dapat menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen.

E. Materi Pembelajaran
·         Cerpen  ” Ali Oncom ”
·         Unsur-unsur intrinsik cerpen :
a.    Tema
b.    Latar
c.    Alur

F. Model Belajar
  
INKUIRI

  • Adalah proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman.
  • Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.
  • Siklus inkuiri :
Ø  Observasi ( Observation )
Ø  Bertanya ( Questioning )
Ø  Mengajukan dugaan ( Hiphotesis )
Ø  Pengumpulan data ( data gathering )
Ø  Penyimpulan ( Conclussion )



G. Metode Pembelajaran
     
  • Tanya Jawab
  • Diskusi
  • Penugasan

H. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran

No
Kegiatan Pembelajaran
Alokasi Waktu
(menit )
1
Kegiatan Awal

§  Mengadakan apersepsi
§  Membentuk kelompok belajar siswa
§  Menyampaikan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran.      
   


15
2
Kegiatan Inti

·        Siswa berkelompok mengamati contoh cerpen
·        Siswa berdiskusi memahami cerpen
·        Siswa mengidentifikasi unsur intrinsik cerpen
·        Siswa berkelompok berdiskusikan menentutkan unsur-unsur intrinsik cerpen
a.     Tema
b.    Amanat
c.     Alur  (Plot )
d.    Setting/ latar
e.     Penokohan
f.     Sudut pandang
g.    Gaya bahasa
·        Siswa berkelompok mendiskusikan tema cerpen.
·        Siswa berkelompok mendiskusikan latar cerpen.
·        Siswa berkelompok mendiskusikan  alur cerpen.
·        Siwa berkelompok  berhipotesis menyimpulkan  unsur intrisnsik cerpen.
·        Siswa melaporkan hasil diskusi tentang  cerpen yang dibaca
·        Siswa menyimpulkan isi cerpen yang di baca.




55
3
Kegiatan Akhir

·        Guru dan siswa menyimpulkan manfaat hasil pembelajaran.
·        Guru dan siswa merefleksikan kegiatan.
·        Guru dan siswa merencanakan materi yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya.



20



I.       Sumber dan Media Pembelajaran

·    Sumber         : Buku Paket Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA Kelas XII.
Teori Pengkajian Fiksi 
  • Media             : Cerpen ” Ali Oncom ”



J.    Sistem penilaian

No
Indikator yang diukur
Rentang Nilai
1
Tema dari cerpen
30
2
Latar dari carpen
30
3
Alur dari cerpen
30

                                   
     Jawawaban Benar
                        Nilai   =                                      X  100
                                        Jumlah Soal

·         Teknik                                    : Tes
·         Bentuk Instrumen    : Lisan dan tulisan
·         Instrumen                  :

A. Sola Latihan
1. Sebutkan tema  yang terdapat dalam cerpen Ali Oncom ?
2. Tentukan latar yang digunakan dalam cerpen Ali Oncom
3. Jelaskan jenis alur yang digunakan dalam cerpen Ali Oncom
4. Ceritakan kembali isi cerpen tersebut dengan menggunakan bahasa Anda sendiri!
5. Jelaskan sudut pandang yang digunakan pada cerpen tersebut!

B. Jawaban soal latihan
     No. 1   Belajar hidup mandiri seorang anak manusia
     No. 2.  Latar yang digunakan latar tempat. Batar Gebang
     No. 3.  Alur yang digunakan jenis alur maju mundur.
     No. 4.  Cerpen tersebut menceritakan perjuangan hidup seorang anak  pemulung yang mempunyai cita-cita seperti layaknya seorang anak manusia.
     No. 5.  Sudut pandang yang digunakan menggunakan sudut pandang aku. Sebagai pengamat

L Tindak Lanjut
·        Remidial
·        Tugas



                                                     Karangpawitan, 9   November 2010
Mengetahui,                                                          Guru Mata Pelajaran,
Kepala Sekolah,                                                  



                                                                       Drs. OJAT ROJAT,M.Pd
                




Cerpen Pembelajaran
RPP Pertemuan No. 14

Ali Oncom
Herry Nurdi


          Bau busuk, ribuan lalat dan ulat kecil dari makanan yang basi atau belatung yang keluar dari bangkai binatang sudah bukan barang asing lagi untukku. Di tempat akhir pembuangan sampah, Bantar Gebang Bekasi, inilah tempatku. Namaku Ali, tapi banyak orang memanggilku Ali Oncom. Umurkusekarang, 13 tahun, itu pun kalau tak salah hitung.
Mengenai nama itu, awalnya aku tak tahu kenapa orang-orang memanggilku dengan Ali Oncom. Tapi akhirnya aku tahu juga. Nama itu diambil dari sebuah gambar kartun di Koran Pos Kota. Kata orang-orang, wajahku mirip dengan tokoh yang ada dalamnya. Rambut sedikit keriting, badan kurus, mata besar dan bibirku yang tebal.
Aku tak pernah marah jika orang-orang memanggil dan mengatakan aku mirip dengan tokoh kartun itu. Ketika suatu kali aku menemukan sobekan Koran dan ada lembar yang penuh dengan gambar, dalam hati aku berkata.
“Tak salah jika orang-orang menyebutku Ali Oncom.”
Lima tahun sudah aku tinggal di Bantar Gebang, tempat semua orang se-Jakarta membuang sampah. Aku datang pertama kali ke tempat ini sebenarnya tak sendiri, dengan bapak yang sekarang entah kemana. Dia meninggalkanku, dan aku tak merasa perlu untuk mencarinya. Biar saja.
Aku punya dua orang adik di kampung, di Indramayu. Selama aku tinggal di Bantar Gebang, baru dua kali aku pulang kampung. Lima tahun dan dua kali pulang kampung, Waktu aku pulang pertama kali, emang menangis saat aku datang. Dan ketika aku memaksa pergi, emak menangis lagi. Aku pikir emakku cengeng, sangat cengeng bahkan. Meski ema menangis meraung, aku tetap pergi. Kembali ke Bantar Gebang. Aku lebih suka di sana, dan merasa bosan di rumah.
Di Bantar Gebang, ada juga tetangga satu desa yang ikut jadi pemulung sampah. Kang Jaja namanya. Kata kang Jaja, saat aku pergi lagi ke Bantar Gebang ema sakit selama semingu. Kasihan emakku. Tapi bagai mana lagi, aku lebih senang tinggal di Bantar Gebang.
Aku senang di sini, banyak teman. Kami tidur sama-sama., main sama-sama. Madi juga. Di tempat pembuangan sampah ini, aku memilih jadi pemulung semua sampah dari plastic. Juga botol kaca. Banyak temanku yang lebih senang mengumpulkan sampah karton dan kardus bekas. Ada juga yang mengumpulkan logam dan kaleng-kaleng. Kalau aku, lebih senang memilih sampah plastic karena jumlahnya selalu banyak, meskipun harga jualnya murah tak seperti kertas karton atau logam.
Kami tidak boleh mengambil sampah bagian orang lain. Kalau palstik, harus tetap plastik. Begitu juga dengan pemulung sampah kertas atau logam. Kalau pun ingin pindah, kami harus izin dulu pada Kak Marzuki. Pengasuh Kami, semua pemulung di Bantar Gebang hormat padanya.
Pernah suatu kali terjadi, Anjas namanya, tergiur melihat sampah plastic yang menggunung. Padahal biasanya ia memulung sampah keras dan kardus. Tanpa izin ia langsung memungut sampah yang bukan bagianya. Melihat kelancangannya, kami tak tingal diam. Kami mengoroyok Anjas sampai ia berteriak minta ampun dan pergi dari Bantar Gebang tak pernah kembali lagi.
“Kalian jangan begitu,”Kak Marzuki menegur kami setelah kejadian itu.
“Biar, biar tahu saja si Anjas itu tahu rasa,” Kataku dalam hati,  menggurutu.
**
Di Bantar Gebang. Biasanya selama dua jam dalam sehari kami belajar di sekolah yang tidak tentu masuknya pukul berapa.
“Kumpul, kumpul, pak guru datang.” Teriakan Kak Marzuki adalah lonceng tanda masuk ke sekolah kami. Sekolah yang aku maksud adalah, bangunan gubuk di samping tempat Kak Marzuki tinggal. Ada papan putih yang kata Kak Marzuki namanya white board, sebuah spidol warna biru satu lagi warna hitam. Tikar yang dihampar dan tentu saja juga bau busuk yang menyambarkan masuk ikut sekolah dan belajar.
Aku, aku tidak sekolah. Susah, banyak mikirnya. Tapi ada seorang temanku, HArdi namanya, Pandai sekali ia. Hardi punya nama lain yang bisa kami panggil bendol. Panggilan itu kami berikan karena kepalanya yang lebih besar dan tak seimbang dengan ukuran tubuhnya. Aku sering berpikir, mungkin karena kepalanya bendol itulah Hardi jadi pintar. Cita-citanya jadi guru matematika, tapi sehari-hari ia memungut sampah dari logam. Si Bendol ini, sering kali kami jadikan konsultan ketika harus menghitung jumlah pendapatan yang harus kami terima ketika ditimbang. Kerjanya selalau memuaskan, tak pernah salah hitung sehingga tak pernah ada kerugian.
Si bendol ini selalu menjadi anak yang pertama kali datang kalau guru pengajar yang semuanya teman Kak Marzuki tiba di sekolah. Sedangkan aku, aku selalu berdoa semoga hari ini tak ada guru yang datang. Tapi bisanya doaku tak pernah terkabul. Guru selalu datang.
Kami yang belajar di kelas gubuk itu, selalu tertawa kalau ada guru baru yang menanyakan apa cita-cita kami, anak-anak yang ada di Bantar Gebang sini. Kami bukan menertawakan gurunya, tapi kami menertawakan cita-cita kami sendiri. Cita-citaku, aku ingin selalu jadi polisi. Aku selalu menyebutkan dengan bangga dan gagah di setiap kesempatan, atau setiap kali ada yang menanyakan apa cita-citaku. Tapi kata orang-orang, jadi polisi itu tidak bagus.
Saat aku berbincang dengan Wak Barkah di satu sore, pemulung tertua di antara kami itu berkata, “Polisi itu suka minta uang, kalau ada garukan, biasanya polisi juga ikutan. Pokoknya nggak bagus deh jadi polisi, mending jadi sopir truk sampah.”
“, Pokoknya aku ingi jadi polisi,” Aku ngotot.
“Hei, Ali Oncom ingin jadi polisiiii,”  Teriak Wak Barkah itu. Dan semua orang mendengarnya, lalu tertawa. Aku bersungut ingin sekali memukul Wak Barkah rasanya.
Wak Barkah adalah seorang laki-laki tua . Katanya dia dari Deli, Sumatera Utara. Meski bicaranya kasar, Wak Barkah sebetulnya adalah orang baik, ia sayang pada anak-anak. Ia tak punya saudara, istri, apalagi anak. Kamilah saudaranya di Bantar Gebang ini. Tubuh Wak Barkah, tinggi jangkung, kurus dan hidungya  besar. Wajanya juga kasar, banyak bintik dan lubang. Itulah yang membuat Wak Barkah nampak seram. Tapi sekali lagi, ia orangbaik. Ia gemar mendongeng pada kami, anak-anak Bantar Gebang. Seperti malam itu.
“ Dulu, duluuu sekali semua binatang bisa berbincang sama persis seperti kita, manusia. Mereka menggunakan kata dan bahasa yang sama dengan manusia.” Wak Barkah mengawali ceritanya. Jika sudah begitu, Kami semua akan mencari posisi yang enak untuk mendengarkanya dalam gubuk wak Barkah. Sampai kami, satu persatu tertidur di gubuknya yang sumpek itu. Kisah-kisah yang dituturkan Wak Barkah, membuat hubungan kami berlangsug hangat dan manis.
Namun kemanisan hubungan kami itu tak cukup lama. Suatu ketika ia sakit, tiga hari lamanya Wak barkahtak keluar dari gubuknya yang sumpek itu. Semua orang di Bantar Gebang saat itu langsung mengumpulkan uang dan membawa Wak Barkah ke dokter. Kata dokter, Wak Barkah kena TBC. Entah karena apa, sejak saat itu dari gubuk Wak Barkah tak pernah terdengar cekikik anak-anak yang kegelian mendengarkan dongengan atau suasana hangat disana. Ya, sejak sat itu tak ada yang mendengar dongengnya, apalagi sampai tertidur dalam gibuknya.
Setiap kali ada di antara kami yasg dekat-dekat dengan Wak Barkah, selalu ada yang membisikkan kata, “Awas ketularan kamu nati.” Sejak Saat itu, nampak bertambah tualah wajah Wak Barkah. Dan semakin kurus pula tubuh lelaki tua itu. Sayangnya, meski sudah menderita penyakit yang membuat keropos paru-parunyaitu, Wak Barkah tak pernah mau berhenti mengisap rokok besarnya. Aku selalu melihatnya dengan sebatag rokok yang terselip di antara bibirnya yang hitam.
Sebenarnya, kami, anak-anak Bantar Gebang ini, juga merokok. Tapi tak seperti Wak Barkah. Kami hanya merokok jika kumpulan hasil sampah kami terjual dan kami menjadi banyak uang. Biasanya, kalau sudah begitu, kami tak hanya pesta rokok saja. Tapi kami juga pesta besar.
Beberapa teman di antara kami, setelah mendapat uang, malam harinya akan pergi beberapa kilo meter dari tempat kami memungut sampah. Tempat itu banyak perempuan yang duduk-dududk tapi ada juga yang berdiri di pinggir jalan. Mereka sesekali mengacungkan tangan jika ada mobil milintas.
Bisanya, mereka, perempuan itu tak acuh pada anak-anak seusia kami. Tapi tak perlu khawatir, tak lama lagi mereka pasti mendatangi kami. Dan benar saja, jika hari mulai larut dan belum ada satupun mangsa yang berhasil mereka jerat, artinya giliran kami, anak-anak Bantar Gebang ini mendapat jatah.
“Hei, ngapain kamu malam-malam di sini? Seorang perempuan berbedak tebal berpakaian mini menyapa kami. Kami tak menjawab, hanya tawa derai dan seringai saja kami lemparkan. Lalu perempuan itu biasanya akan mencubiti pipi dan memencet hidung kami.
“Kamu punya uang berapa?” Tanya perempuan itu sambil menebar aroma wangi yang selalu saja menusuk hidung.
“Tiga ribu………”
Heh, tiga ribu…..” kata perempuan itu. Ia diam sebenar, tapi tak lama kemudian ia menggandeng anak yang menjawab tiga ribu tadi menghilang dalam kegelapan malam. Dan kami,  yang tak ikut menghilang akan menanti teman-teman kami yang menghilang sambil menghisap rokok di pinggir jalan. Tak lama kemudian, satu persatu teman kami yang menghilang akan kembali muncul dengan wajah riang. Berbeda dengan wajah perempuan yang mengajak menghilang, wajahnya dingin saja tak ada perbedaan. Tapi kami gembira sekali.
Kegiatan itu selalu kami turunkan kepada adik-adik, anak-anak baru penghuni Bantar Gebang. Walau dari kami sudah pernah ada yang kencing nanah, kegiatan selalu saja ada peminatnya.
***
Suatu kali, Kak Marzuki mendatangkan seorang  ustadz yang katanya akan mengajar ngaji. Ustadz Gupron namanya. Selain mengajar ngaji , ustadz ini juga sering bercerita pada anak-anak yang menjadi muridnya. Ya, seperti Wak Barkah, tapi tidak sama. Ustadz Gupron selalu bercerita tentang orang Arab. Semua ceritanya menarik , aku suka.
“Habis ngaji, saya punya cerita tentang kalian,” kata Ustadz Gupron. Setelah itu, biasanya kami akan mengaji dengan giat. Berburu-buru menyelesaikan giliran untuk bersiap mendengar dongeng.
“Bismilillahirrahmanirrahim……” begitu setiap kali Ustadz Gupron mengawali ceritanya. Lalu kami seperti terbius mendegar ceritanya yang kadang mencekam tapi tak jarang pula menggelikan.
“Pak Ustadz memang pintar dan punya banyak cerita, gimana anak-anak? Kak Marzuki tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada  Pak Ustadz.
Ya, memang banyak sekali cerita pak ustadz. Ada cerita tentang Abu Nawas yang menggelikan, ada Ali bin Abi Thalib remaja cerdas, ada Mush’ab bin Umair yang pemberani ada juga Umar bin Khattab yang tegas keras.
Ahh, aku suka sekali. Terutama kalu pak ustadz bercerita tentang Nabi Muhammad. Dari ceeritaya, sampai-sampai aku bisa membayangkan sosok nabi paling akhir ini..
          “ Rasulluloh itu rambutnya panjang, antara telinga dan bahunya. Tidak lurus, tidak juga keritig. Badanya tinggi, bulu matanya lemtik dan beliau memiliki bulu yang lebat dari dada sampai pusar. Kulitnya kemerah-merahan, dan jika berjalan langkahnya tegap, seolah jalan sedang menurun. Beliau memilik hati yang paling mulia, dan jika beliau memakai baju wara merah, maka sahabat-sahabat akan memujinya, “ Pak ustadz Gupron dengan seksama menggambarkan Nabi Muhammad.
Kemudian Pak Ustadz melanjutkan lagi, kini menirukan orang-orang yang disebutnya sebagai sahabat. “ Aku melihat Rasullulloh ketika pada bulan malam purnama. Beliau memakai baju warna merah. Ternyata belua lebih indah dari bulan purnama.”
Aku suka Pak Ustdz Gupron. Tapi sayag, ia tak pernah datang lagi ke Bentar Gebang.
“ Pak Ustdz perrgi ke Sumatra,” begitu kata Marzuki satu kali.
“ Ada yang menggantikannya nggak Kak?” Tanyaku pada Mar.
“ Nanti kakak carikan, “ janji Kak Mar. tapi sampai saat ini berlum ada yang datang lagi seperti Pak Ustadz Gupron. Entah tak ada orangnya atau tak ada orang yang mau seperti Pak Ustadz Gupron.
Pak Ustadz Gupron pergi dan Bantar Gebang tetap Bentar Gebang. Penuh sampah dan bau busuk. Wak Barkah pun semakin tua dan kurus. Banyak temanku di sini yang masih merokok dansesekali mendekati perempuan-perempuan di pinggir jalan dan selalu menjawab. “ Tiga ribu. “  Kecuali Aku, tentu. Aku masih menantikan Pak Ustadz Gupron.
“Ah, Ustadz Gupron, Aku rindu.”
                                                *********
                                                                                                                                                                                                                                    02.02.09                     
                                                                        Dikutip dari Kumpulan Cerpen Remaja
                                                                                               
ASMA NADIA
                                                                                                Penerbit : Fba Press
























































RUBRIK PENILAIAN PENJELASAN
KETERKAITAN CERPEN  DENGAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI
                                                            14

NAMA SISWA                          :
KELAS/NO. ABSEN               :
TANGGAL PENILAIAN          :
STANDAR KOMPETENSI     : Memahami  wacana sastra puisi dan cerpen

KOMPETENSI DASAR          : Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen  


NO
KOMPONEN YANG DINILAI
SKOR
1
2
3
4
5
01.
Manfaat isi cerpen terhdap lingkungan tinggal





02.
Membandingkan  isi cerpen dengan kehidupan  di sekitar tinggal





03.
Pandangan tentang latar cerita





04.
Penjelasan disertai alasan dan bukti konkret





05.
Manfaat tema cerita terhadap pola hidup lingkungan sekitar







JUMLAH SKOR (MAKSIMAL 25)













                                                                     Karangpawitan, 9   November 2010
   Mengetahui,                                                         Guru Mata Pelajaran,
Kepala Sekolah,                                                  




                                                                               Drs. OJAT ROJAT,M.Pd